Selasa, 21 September 2010

( Tidak Diberi Judul )

Malam ini saya sudah membulatkan tekat untuk meninggalkannya. Saya masih mencintai perempuan itu. Sungguh masih mencintainya. Tapi perlakuan dia padaku kali ini sudah cukup. Saya tidak terima kalau dihina dengan cara seperti ini.

Saya mengendap- ngendap mendekati kasur saya, tidak banyak barang yang tertinggal disana. Sejenak mataku memandang kearahnya yang tertidur pulas. Punggungnya balik menatapku dingin. Sumpah mati aku berusaha menahan diri agar tidak berjalan mendekatinya. Sudah berbulan- bulan sebenarnya saya enggan tidur disisinya, mengendus aroma tubuhnya, membiarkan dirinya merengkuh badanku hingga kita berdua terbuai dan tertidur nyenyak didalam selimut yang hangat. Tapi bodohnya kejantananku adalah terkadang aku kalah dibuatnya. Siapa yang mampu menolak daya magnet wanita? 
Apalagi wanita seperti dirimu......

Berulang- ulang kali aku dikalahkan oleh kejantananku sendiri, tapi tidak malam ini. Malam ini saya sudah membulatkan tekad. Malam ini aku akan meninggalkannya. Saya tak tahu apakah saya sanggup hidup tanpa dirinya. Entahlah. Tapi sekali lagi kukatakan padamu, tekadku sudah bulat. 
Saya berjalan mengendap- ngendap sekali lagi kali ini. Bukannya apa- apa. Tapi saya berniat keluar dari rumah itu tanpa harus memandang wajahnya. Tanpa harus terluka lebih dalam. Dan saya ikhlas keluar tanpa membawa apapun, meski itu juga berarti saya harus menahan dinginnya udara lembab malam setelah hujan, dan berjalan menyusuri kota ini hanya dengan telapak kakiku.

Tiba- tiba kudengar selimutnya bergesekan dengan kulitnya. Telingaku mendadak awas. Dan aku menoleh kebelakang, kearah ranjang. Matanya menatapku, dan aku hanya berdiri temanggu didepan pintu keluar.

“ Mau kemana kau malam- malam begini... “, tanyanya sambil memicingkan mata menatapku yang masih mematung.

Aku tidak menjawab meski aku mendengar apa yang ia tanyakan. Aku menatapnya lurus- lurus dan berusaha menguatkan hatiku sendiri. Sekarang ia menurunkan kakinya yang jenjang dan mulus kearah lantai tanpa alas kaki dan perlahan seakan ia akan menghampiriku.
Aku hanya punya dua pilihan. Tetap berdiri mematung disini, atau pergi dan lari dari sini. Lari sekencang- kencang aku mampu. Dan berdoa agar aku cukup kuat untuk tidak melihat ke belakang lagi. Sekilas memoriku berputar

Apa yang kaupikirkan ketika dengan beraninya kau bawa dia pulang kerumah ini?

Tepat didepanku

Dan sejak saat itu perhatianmu sudah berkurang, jauh berkurang untukku. Kumohon akuilah! Hentikan kepura- puraan diantara kita. 
Aku sadar betul aku sudah tua dan renta, dan aku ikhlaskan kau untuk mencari penggantiku, tapi setidaknya jangan sekarang. Tunggulah sebentar lagi, Tunggulah hingga akhir nafasku yang terakhir. Jangan kau hancurkan wibawa dan harga diriku persis didepannya
Tak bisakah kau mengerti hal sesederhana itu?

Dan kutatap langkahnya lurus- lurus. Aku mungkin sudah tua, tapi mataku masih awas untuk memperhatikan jenjang kakinya. Sejenak aku merinding terhadap apa nanti yang ia akan lakukan ketika badannya sudah dekat dengan badanku. Dan aku tahu persis letak kelemahanku yang satu ini. Kuperintahkan kakiku untuk lari cepat- cepat, tapi tak berhasil, aku tetap berdiri gentar.

Dan sesaat ketika tangannya merengkuh pundak dan leherku, saat itu jugalah aku menyerah kalah. Ini terlalu kuat untuk dilawan. Aku merasa dipecundangi tapi sekaligus merasa seolah- olah belaian tangannya telah diselimuti morfin untukku. Morfin untuk membuatku tetap jatuh cinta padanya persis seperti ketika kita berdua pertama kali bertemu.

Aku sudah tua. Mungkin renta. Ajalku sudah dekat. Mungkin juga tidak. Entahlah. Aku hanya ingin, untuk malam ini, sekali lagi, kubiarkan jiwa dan ragaku tidur bersama dirinya untuk semalam lagi. Kuhilangkan kecemburuanku. Kulupakan dosanya tidak membuatkan susu untukku selama lebih dari 60 hari. Dan seiring dia menggiringku ke ranjang dan menyelimuti aku,....akupun mulai terlelap dalam buainya, mulai haus akan aroma tubuhnya. Ia membaringkan aku pelan- pelan tepat disamping dirinya. Ia tersenyum seraya menutup matanya dan menyentuh lenganku. aah...untuk apa kupikirkan. Aku tidak yakin bagaimana caranya aku dapat menjelaskan ini pada engkau agar kau mengerti jalan pikiranku. Dunia ini terlalu rumit untuk kujelaskan dari satu sudut pandangku saja, dan lagipula, ...........

Lagipula aku hanyalah seekor kucing yang sangat beruntung memiliki dia......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar