Senin, 20 September 2010

Koin Selalu Memiliki Dua Sisi

Tidak peduli bagaimana cara anda meletakkannya, atau membiasnya dengan cahaya, ia selalu meninggalkan jejak bayangan.

Sebagai seorang yang telah berkomitmen bekerja dengan hati sebagai pekerja sosial, saya senantiasa mengupgrade pergaulan serta wawasan saya. Saya tidak pernah memilih- milih teman dalam bergaul.

Pejabat - Duta Besar - Pelacur - Pengusaha - Pelajar - Seniman - Wartawan - Ibu - Janda - Artis - Kaum Transgender sampai Kaum Homoseksual saya kenal.

Saya tidak pernah risih dengan siapapun saya berteman. Dan saya cukup tahu sampai batasan mana saya mampu melebur. Dan semua itu membuat saya memiliki lebih dari satu dimensi cara pandang saya mengenai hidup, dan mengenai diri saya sendiri. Dan saya sungguh sangat bersyukur dengan apa yang saya miliki sekarang. Saat ini, detik ini.

Ketika anda berusaha dengan demikian hebatnya menjaga image anda - menjaga wibawa anda - menjaga kredibilitas anda, sesungguhnya anda tengah memperapuh mental anda dengan menipu diri anda sendiri tentang sampai sejauh mana anda mampu bertahan. Apalagi bila anda kurang beriman.

Kadang saya benar

Kadang saya salah

Siapa yang tidak ?

Semua kritikan baik halus maupun tajam memaksa saya tetap tersenyum di depan umum, dan lalu ....marah- marah ketika tiada seorangpun. Saya suka menghukum diri saya sendiri - dengan cara berusaha lebih keras dan lebih keras lagi .... 

sampai akhirnya saya hancur berantakan. 

Hasil kerja keras saya menuai tidak sedikit pujian singkat dari mereka yang hanya melihat kulitnya saja. Tapi racun bagi saya... demikian juga dengan kritikan, semua itu datang silih berganti.

Orang yang jarang atau hampir tidak pernah memberi pujian bagi apapun yang saya lakukan ialah Kedua Orang Tua saya sendiri.

Ironis


Belajar Melukis : Pekerjaan yang tak bermasa depan dan sia- sia

Taekwondo : Buang- buang energi

Bahasa Inggris : Belajar disekolah sudah cukup, tak usah menghambur- hamburkan uang dengan les

Menjadi TKI : Memalukan Nama Baik Keluarga besar

Saya berhasil belajar melukis dengan cat minyak dikanvas dari hasil menipu kedua orangtua saya dengan cara me - mark up harga buku - buku pelajaran disekolah. 

Saya berhasil mengalahkan 3 anak yang berasal dari Papua yang kasar dan bertulang besar dengan satu jurus Djuit JitSu Kombe, dan menerima sabuk merah saya tanpa dihadiri kedua orang tua saya. dan hanya diiringi tatapan bangga Sabem saya.

Lalu yang terakhir adalah saya mendaftarkan diri saya sendiri di Fakultas Pariwisata dan berhasil Praktek Kerja Lapangan selama satu setengah tahun di Kapal Pesiar dengan cara ..........

kabur dari rumah.

Saya hanya memegang uang tunai dua juta rupiah ketika kali pertama naik kendaraan umum menuju ke kawasan Jakarta Pusat untuk mendaftarkan diri saya di sekolah tinggi tersebut. Saya hanya mampu mengambil jurusan Diploma 3, dengan tujuan bekerja di Star Cruise kapal pesiar yang berbasis di Singapura- persis seperti yang saya lihat di iklan majalah remaja, tempat saya menemukan ide ini. Itulah awal mimpi saya, dan sisanya  di lalui dengan hari - hari dimana saya kuliah pagi dan bekerja hingga larut malam di dua tempat kerja sekaligus untuk membiayai hidup saya sendiri. Tanpa Libur. Entah di Hari Raya Imlek, Tahun Baru, Natal ataupun hari libur lainnya. Dan itu semakin mengasah tekat saya dalam memegang komitmen.

Saya berhasil keliling Asia dan fasih berbahasa Inggris di usia saya yang baru menginjak 21 tahun, dengan biaya dari hasil kerja keras saya menjadi Bartender dan Waiter dibeberapa Club dan Cafe. Dikapal pesiar, profesi saya tidak jauh berbeda. Saya menghadiahi diri saya sendiri dengan tatoo berlambang Naga di kaki sebelah dalam bagian kanan sebagai penghargaan semua hasil kerja keras saya. 

Well done Dean.

Lalu semuanya menjadi berubah tak terkontrol.

Saya bukan saya lagi. 

Semua menjadi Blur.

Sejak hari itu, saya hanya percaya terhadap diri saya sendiri, saya hanya mengandalkan diri saya sendiri. Dan saya berhenti berharap akan apapun dari orang lain ....

Kelak ketika saya pulang kembali ke Jakarta dan akhirnya berhasil menemukan kedua orang tua saya kembali ( Mereka sempat pindah rumah dan membuat saya kehilangan mereka beberapa saat ), di pagi yang cerah, dan suasana rumah baru yang masih sangat asing bagi saya, ....

Saya bertelanjang dada turun dari lantai atas kamar saya berada.

Tubuh saya yang terbentuk sempurna memberitahu Ibu saya yang sedang duduk di meja makan yang menunggu saya bangun, bahwa saya menjaga tubuh saya dengan baik selama saya kabur meninggalkan mereka.

Tatoo yang terlihat di pergelangan kaki saya memberitahu dia juga bahwa saya menjadi lebih keras kepala dari yang pernah ia kenal sebagai anak yang keluar dari rahimnya sendiri.

Dan asap rokok yang membuat saya asma ketika kecil kini dengan leluasa saya hisap didepan mata Ibunda saya, ....... tanpa canggung.

Sebelum saya sempat melihat matanya berkaca- kaca dan menangisi kematian putra tunggalnya yang tidak sempat ia kebumikan, saya bertanya padanya ....

" Mama mau makan apa ..... ? "

Dean Lugisto Kecil


Saya adalah salah satu manusia dengan segala kompleksitasnya.

Lahir dipangkuan keluarga besar Lugisto, dan hidup yang lebih dari sekedar makmur di era 80-an. Saya adalah bungsu dari 2 bersaudara. Abang saya meninggal dikala saya masih dalam kandungan. Itu menjadikan saya berstatus anak laki- laki tunggal secara resmi. Lahir di Medan - Sumatera Utara dan dibesarkan di Jakarta.

Jauh dibelakang - disaat saya belum mempunyai banyak pilihan, hidup terasa begitu indah. Rumah keluarga besar saya dikampung sangat besar - cukup besar untuk menampung 3 keluarga besar lainnya dan segudang binatang hewan peliharaan yang langka. Ayah saya bekerja sebagai pengusaha tekstil ketika saya belum lahir, dan Ibu saya memiliki salon kecantikan sendiri di depan beranda rumah kami. Nasib berkata lain ketika usaha ayah saya menderita kerugian yang teramat sangat berat ketika seluruh harta kekayaan keluarga kami ditipu oleh salah satu sahabat dekat ayah. Ayah kemudian bertolak ke Jakarta ketika saya berumur kurang dari 3 tahun. Saya dan Ibu melanjutkan hidup yang  tidak pahit- pahit amat di Istana rumah kami yang barang mewahnya dijual satu per satu untuk menyokong keluarga besar kami.

Hari- hari saya dilalui dengan tenang sentosa, sementara Ibu kerap diam- diam mengajak saya keliling pasar untuk menjual satu per satu perhiasan emas kawinnya setiap seusai saya pulang sekolah. Tentu saja mengendap- ngendap dari perhatian keluarga lainnya. Saya rasa, jika anda hidup mulai berkekurangan, dan tidak banyak pilihan yang anda miliki, satu- satunya yang bisa anda lakukan adalah menyelamatkan keluarga anda sendiri dulu. Saya memaklumi apa yang Ibunda saya lakukan dan sungguh berterima kasih padanya. Itu hari terakhir saya pernah melihat sebuah cincin emas dengan tahta berlian melingkar di jari Ibunda saya. Siang itu kami pulang. Saya tidak dimandikan seperti biasanya. Saya dibiarkan bermain sendiri diatas kasur springbed dengan boneka Popeye kesayangan saya, sedang Ibu, ia membenamkan wajahnya dengan bantal, sembari membalikkan tubuhnya dari pandangan saya, lalu kasur kami bergetar dengan kencang. Tanpa suara. dan kejadian itu membekas di dalam hati saya. Kami bangun tengah malam dan mata Ibu masih sembab.

Saya selalu diajarkan untuk disiplin menulis surat kepada ayah. Hal- hal yang saya tulis lebih mirip laporan harian, biasanya Ibu yang mendikte apa yang harus saya tulis. Sekalian belajar menulis mungkin. Rumah kami besar namun biasanya Ibu dan saya lebih sering menghabiskan waktu didalam kamar. Makan - Belajar - Bermain, lebih banyak dilakukan didalam kamar. Dan saya tidak punya jawabannya kenapa hingga hari ini.

Ibu berteriak kegirangan suatu hari. saya lantas dipeluk dan dicium- cium. Semua mainan lego yang saya susun susah payah jatuh berantakan. Ibu habis membaca surat dari hasil tulis tangan ayah. Isi beritanya meminta kami datang ke Jakarta. Kejadian itu terjadi di siang hari, setelah saya pulang dari sekolah dan setelah Ibu menemukan surat dari Ayah didalam kotak surat. Keesokan harinya, sebelum saya makan siang, Ibu dan saya sudah didalam Taksi dan bertolak ke Pelabuhan Belawan. Tidak banyak yang kami bawa seingat saya. Dan saya ingat, kami berdua tidak pamit kepada siapa- siapa.

Itu kali terakhir saya ingat tentang Medan kampung halaman saya. didalam taksi yang tidak ber- AC, mata saya hanya menatap pagar depan rumah yang sepi sambil mengucapkan selamat tinggal dalam hati.

Pagar tempat saya melepas balon terbang tinggi ke angkasa.

Pagar tempat saya bermain kembang api dan melemparnya agar nyangkut dipohon.

Pagar tempat Ayah mengajarkan saya naik sepeda roda tiga.

Pagar tempat saya menginjak kotoran anjing pertama kalinya.

Ibu tidak banyak berkata- kata didalam taksi. Beliau hanya sesekali menjawab sekenanya pertanyaan dari abang supir taksi. Kami makan roti coklat satu berdua sambil menelusuri jalan menuju Pelabuhan Belawan.