Jumat, 25 Mei 2012

Unek- unek ala Gudeg


Punya suaka alias tempat berlabuh dalam perlindungan itu mahal harganya bagi manusia dewasa. Mungkin jaman sekarang buat anak kecil juga demikian.

Twitter, Facebook dan sebangsanya hanya ilusi. Kita tidak pernah bisa benar- benar mengungkapkan isi hati kita kepada mesin Hypercyber itu. Tadinya kupikir itu bisa menjadi bentuk pelarian, dari saya terhadap semua species Homosapiens dimuka bumi. Kita lupa, Homosapiens selalu berada dibalik semua ini. Jadi ngomong di Twitter atau ngomong sama orangnya langsung ya sama saja. Cuma jadinya direct dan indirect speech.

Ngomong sama hewan dan barang saya pasti dianggap gila. Bahkan oleh diri saya sendiri. Ngomong sama Semesta? kadang- kadang dia punya plot sendiri yang gak bisa ditebak. Alih- alih menuduh semesta pengkhianat lebih baik saya diam seribu bahasa.

Ngomong sama Tuhan? Ini lebih menyebalkan lagi. Dia maunya cuma komunikasi satu arah. Kalau dituding Dia enggak pernah menjawab, pasti Dia membela diri. Saya enggak punya perangkat jelas untuk mentranslate jawaban dari Tuhan.


Saya tidak ingin mati, tidak juga berarti saya ingin ngotot hidup. Saya hanya ingin bahagia. Baik dalam keadaan hidup, maupun mati. Sesederhana itu.

Hanya orang sehat yang mengerti bahasa manusia sehat.

Hanya orang sekarat yang mengerti bahasa manusia sekarat.

Saya lelah merespon terhadap reaksi, atau bereaksi terhadap respon yang datang. Berada dalam hening yang menggelegar adalah suaka bagi saya saat ini. 


Kumohon jangan usir ku pergi, karena sungguh aku tiada tempat lagi.


Jakarta, 26- 05- 2012
12:14 siang

Senin, 14 Mei 2012

PERJALANAN MENUJU WAISAK 2556 BE YOGYAKARTA

Lama tidak menulis. Saya takut lupa caranya menulis tulisan yang tidak membosankan untuk dibaca oleh saya sendiri. Semoga saja tidak.

Tepat dihari Waisak 2011 setahun lalu, saya ingat duduk semobil bersama kelima teman saya lainnya, Rosnive sebagai juru mudi, pasangan Elda dan Candra, Hendra Fu juga Dedy. Kami tengah menuju ke panti jompo dikawasan Barat Jakarta guna membagikan sedikit apa yang kami punya dan kumpulkan, begitu cara kami merayakan Waisak tahun kemarin. Lalu saya berkelakar, seandainya saja Buddha mengijinkan, ingin rasanya saya melihat ribuan lampion berterbangan diangkasa raya Candi Borobudur yang sudah termahsyur dengan ritualnya.

Beberapa hari kemudian, Rosnive menghubungi saya siang bolong, dia berhasil mendapatkan tiket pesawat pulang pergi rute menuju Yogyakarta dengan biaya hanya sebesar Rp. 50.000. Itu sudah termasuk pajak, atau lebih tepatnya, itulah pajaknya, soalnya itu tiket promo kursi gratisan alias nol Rupiah.

Ternyata doa saya didengar semesta, dan disampaikan ke kuping Sang Buddha

5 Mei 2012, saya bertolak menuju Yogyakarta pukul 03.00 pagi. Saya tertipu dengan berita wacana semua peserta diharuskan telah sampai dibandara Soekarno Hatta pukul 04.30 pagi buta, ternyata sang team leader hadir pukul 04.45. Demikianlah, tidak banyak yang ingin saya ceritakan disini selain, kelima kawan saya yang semobil merayakan Waisak tahun kemarin sukses terbang pergi bersama saya menuju perayaan Waisak. Berenam dengan saya, lengkap. Sisanya alien bawaan, bernama Juny, Lily, Willy, Girta, dan sampah galaksi semesta hasil endapan lubang hitam, namanya dibumi adalah Agus.

Seorang sahabat saya bernama Girta dan Agus digagalkan pihak penerbangan untuk terbang, soalnya ketahuan memakai tiket yang gagal terbang oleh kedua kawan perempuan kami. Coba visualisasikan ini ya, petugas bandara dengan lantang memanggil nama " Amelia Helena " yang perempuan, namun yang hadir didepannya adalah Agus Chandra dengan badannya yang bongsor besar dan bulu dimana- mana. Jelas saja petugasnya bingung, tak lama setelah mengetahui apa yang terjadi, jadilah kami diabsen satu per satu. Ketahuan bohong dua orang pria menggunakan tiket wanita. Dua penipu lainnya lolos terbang soalnya baik pembeli maupun orang yang akan diterbangkan sama- sama perempuan. I called it fifty- fifty then. Sayonara my friend, you know the rules. We gotta fly now.

Persoalan muncul dan menjadi bumbu pedas perjalanan ritual Waisak saya kali ini, pacar sampah Galaksi Bimasakti yang notabene jauh di Jakarta baru bangun tidur rupanya, alias Amelia Helena, mengetahui pujangga hatinya gagal terbang bersama kami, mulai kerepotan sendiri ( singkat : rempong )

Saya sebagai penghubung komunikasi dan sahabat, sebelumnya meninggalkan pesan face to face baik kepada Agus, maupun kepada Girta, disaksikan oleh Rosnive team leader perempuan kami. Saya meminta mereka untuk mencari penerbangan lainnya, atau cara lain menuju Yogyakarta selain dengan jalur udara. Mengingat salah satu diantara mereka mampu secara finansial, saya sama sekali tidak menduga ini akan memicu persoalan lainnya. Jadilah mereka berdua berangkat ke Yogyakarta menggunakan kereta api yang menempuh lama perjalanan 10 jam. Ketika kami kawan- kawan di Yogyakarta berusaha mengklarifikasi apakah mereka berdua tetap kukuh menuju Yogya, hanya Girtalah yang memberikan jawaban pasti kehadirannya di Yogyakarta menggunakan kereta api. Girta tidak menjelaskan bahwa sesungguhnya Agus berada bersamanya juga. Entah apa maksudnya. Aguspun memberikan kesan kepada kami di Yogya antara ia jadi menyusul atau tidak menyusul, jangan tanya saya apa maksud dia berbuat seperti itu, sebab itu masih teka- teki yang saya masa bodohi. It past already. Stupid asshole.

Agenda hari itu adalah bermain atau berwisata alam ke Gua peninggalan sejarah bernama Gua Rancang. Tidak banyak turis disini, malah seingat saya, mmmm ..... hanya kami! hahahaha ..... sebenarnya saya kurang tertarik, tapi saya paksakan datang dan melihat sendiri seperti apa situs ini, siapa tahu bisa menambah wawasan saya karena ini merupakan salah satu peninggalan sejarah jaman perjuangan Indonesia dahulu kala. Saya berharap mendapat informasi berharga dan menarik, agar bisa membagikannya kepada murid- murid saya di Jakarta yang haus akan ilmu pengetahuan.

Gua nya cukup besar dan lebar. Tidak ada kesan angker. Malah cukup damai dan asri sebenarnya. Terdapat beberapa pria muda dan anak kecil yang merupakan penyedia jasa guide ataupun penyewa senter agar kami bisa menggunakannya untuk melihat- lihat kedalam.

Saya lebih suka bercerita sambil menampilkan foto, agar kalian bisa turut melihat sekilas tapak perjalanan kami. Berikut foto terbaik yang berhasil kami abadikan . . . 

Menyempatkan diri berfoto sejenak di pintu masuk Gua Rancang

Mulut Gua Rancang sebelum kami masuk dan melihat- lihat

Skalaktit yang terbentuk indah hasil ukiran alam selama jutaan tahun masih terjaga dari tangan- tangan usil. Kelihatan biasa saja dalam foto ya, tapi sesungguhnya jika melihat pakai mata kepala sendiri, semua batunya glitter berkilauan sebab mengandung mineral dan juga oksidasi senyawa makhluk kecil yang mengendap

Bela- belain manjat tembok gua demi foto. Kelihatannya mudah, tapi tidak kenyataannya, salah- salah kau akan terjatuh dengan kepala bocor. Saya berada dipaling atas bersama tiga kawan saya lainnya yang tampak gelap


Inilah satu- satunya cara untuk masuk kedalam gua yang berisi tulisan peninggalan sejarah, hanya muat satu orang dewasa lubangnya, tapi didalam lubang ini, mampu menampung kesepuluh teman kami semua.
( Pinjam foto pantatmu ya Willy )

Cuma tulisan inilah yang menjadi primadona Gua Rancang yang kami masuki selain penampilan skalaktitnya yang luar biasa. Agak membosankan memang, tapi renungilah, tulisan yang saya abadikan dalam foto ini adalah satu- satunya pengibar semangat para pejuang kita jaman dahulu yang terpaksa bersembunyi dalam gua. Berkat ini mereka bertahan hidup dan hidup dengan suatu tujuan, Demi Indonesia tercinta!

Setelah puas keluar- masuk gua dan berjumpa dengan beberapa kelelawar yang terusik dengan kehadiran kami, kami segera meluncur ke Sungai Oyo, yang terletak di bawah kaki Gunung Kidul. Jaraknya dari Gua Rancang sekitar hampir satu jam perjalanan menuju bawah Gua Rancang menggunakan mobil, dan melalui jalan yang menurut saya masih lumayan bersahabat.

Disungai inilah, akses kami menuju ke air terjun Sri Gethuk dimata kaki Gunung Kidul. Penduduk lokal rupanya sudah mengenal cara pemasaran yang baik. Mereka menggunakan kaos polo yang berbordirkan tulisan dalam bahasa Inggris " See the other side of Kidul Mountain ", demikian bunyi slogan mereka. Disini kami disuguhi panorama alam yang masih asri dan breathtaking. Cuaca cukup terik dan panas disini, bawa dan gunakan lotion SPF jika anda tidak ingin kulit anda mengelupas dan perih. Tapi terik matahari juga membantu saya mengabadikan foto panorama yang indah.

Sungai Oyo yang mengalirkan mata air Gunung Kidul langsung membuat saya relax dan nyaman

Tempat wisata ini relatif bersih dari sampah dan penuh kicauan burung. 
Surga Yogya!

Inilah panorama yang membungkus kehadiran kami dalam usaha menyusuri Sungai Oyo guna mencapai letak Air Terjun Sri Gethuk

Air Terjun kecil dari Sri Gethuk yang mulai nampak dari kejauhan


Para pemuda yang riang gembira berenang disungai Oyo, sesekali terdengar celotehan dalam bahasa Jawa yang kental. Mereka terlihat lepas dan gembira

Kami bersepuluh mengabadikan keindahan Sungai Oyo bersama- sama

Beginilah penampilan dan kondisi sampan rakitan yang membawa kami menyusuri Sungai Oyo, muat selusin manusia dewasa dan seorang dikenakan biaya Rp. 6.000 sudah termasuk pulang dan pergi sekaligus


Dalam perjalanan saya menuju kembali ke mobil untuk bergegas menuju ke wisata berikutnya, tiba- tiba saja celoteh Amel yang berada di Jakarta mulai mengusik kebahagian kami, dia menganti status BBM yang berbunyi : " Teman macam apa tuh, ninggalin teman ( diikuti simbol jempol terbalik ) ", ada teriakan terselubung didalam kesunyian abjad yang ditampilkan dalam layar ponsel kami. Kami kehilangan sedikit gairah untuk bergembira. Ada yang tidak senang dengan foto yang kami tampilkan diatas melalui update status rupanya. Tak tahukah ia, tak ada satupun diantara kami yang ingin meninggalkan Agus dan Girta di Bandara Soekarno Hatta? Apa yang bisa kami perbuat? Mengacak- acak bandara atau menonjok wajah petugas bandara sekalian? atau duduk diam dipenginapan sambil menunggu Agus tiba di Yogyakarta yang menempuh lama perjalanan sepuluh jam? itukah yang ia harapkan? Perempuan sinting! Lanjutkan!

Seusai puas makan siang nasi dengan tempe orek seharga Rp. 3.000 ( enaknya engga bohong ), bermain air terjun, dan berfoto di Sri Gethuk kami mengejar momen sunset dipantai terkenal di Yogyakarta yang bernama Pantai Sundak. Kami berniat duduk rileks diatas pasir sambil menikmati turunnya matahari secara perlahan- lahan. Kawan saya sibuk berfoto ria, ada yang hanya duduk diam karena kurang tidur, ada yang bermain pasir, sedangkan saya kalut memikirkan jalan keluar dari kerumitan Amel bin Agus dan meredam emosi panas yang mulai menjalar. Bukan ibadah namanya jika tiada ujian.

Saya sudah pernah ke pantai yang lebih bagus daripada Pantai Sundak, tapi tetep saja sebagai beach boy sejati, saya bersyukur atas kesempatan ini dan tetap menikmatinya


Logo Helping yang kami bangun bersama- sama di Jakarta bisa berkibar juga di Pantai Yogyakarta


Momen langka berkat keisengan sang fotografer dadakan yang ternyata menanti ombak yang datang tanpa kami ketahui :
 SANTI LIM LEBAY
 Thank you so much girl :), we love this picture so much,
 at least i do


Demikianlah hari pertama kami menginjakkan kaki ke kota Yogyakarta, berhasil mengantarkan kami ke tiga tempat wisata alam yang cantik dan asri, semua dalam sehari sekaligus. Ini semua tak terlepas dari kecermatan sang Team Leader my lovely Rosnive dalam memilah- milih rute. Kami cukup puas. Senang sekali. Tetapi nampaknya berbeda ya dengan isi perasaan Amel dan Agus, hehehe. Kalau Girta tetap hening tak menampilkan isi pikirannya. Dean tidak menyangka, bencana emosi menanti keesokan harinya di Candi Borobudur dan dihadapan patung Sang Buddha. Ujian yang sebenarnya.

.....
namun demikian juga dengan hadirnya seorang sahabat dan penolong kiriman dari semesta
.....................................

bersambung


HARI TRISUCI WAISAK
Candi Borobudur


Pagi- pagi saya sudah dibikin jengah dengan hasil rapat yang tidak saya hadiri diruang makan Villa, sebab saya masih molor tidur. Bukan rapat juga tepatnya, sebab Agus dan Girta yang sudah berada di Yogyakarta bersama kami ternyata menyewa bus sendiri memisahkan diri dari kami kelompoknya dan tanpa musyawarah terlebih dahulu. Mereka memendam keinginan berwisata alam Yogya seperti apa yang kami lakukan kemarin. Jadilah agenda perayaan hari suci Waisak mereka kesampingkan, Padahal mereka juga merupakan penganut ajaran Buddha. Itu hak mereka, saya tidak berhak mengomentari apapun.

Jam 8.00 pagi kami bersepuluh naik Bus berkapasitas 18 orang menuju ke Candi mendut, kami yakin kami terlambat dengan arak- arakan para bikhu dari Mendut menuju ke Borobudur. Sudah kami prediksi, kami kelelahan kemarin bermain seharian dialam. Tapi itu tidak menyurutkan kami untuk bermalas- malasan menjalani hari suci ini.

Saya lebih excited menghubungi sahabat cyber saya yang janjian ketemuan sejak jauh- jauh hari di Yogyakarta, ( evolusi dari sahabat pena dijaman dulu ), namanya Johanes Jonas Goreti, saya terbiasa memanggilnya Jo.

Umurnya lebih tua dari saya beberapa tahun, tapi dia berjiwa muda, jadilah saya yang enggak pernah ketemu dengannya terbiasa memanggilnya Jo. Ia tinggal dikota Surabaya. Status aku di Yahoo messanger menarik perhatiannya, bahwa kita mempunyai minat yang sama untuk merayakan Waisak tahun ini dengan menonton : ribuan lampion berterbangan diangkasa Candi Borobudur.

Bus yang mengantar kami menuju ke lokasi perayaan TRISUCI WAISAK
disini saya sibuk berkoordinasi dengan Jo melalui pesan SMS


Bus berhenti di lokasi yang terbilang masih jauh dari Candi. Ini strategi polisi. Strategi tahunan, agar jalanan tidak macet. Umat Buddha di Yogyakarta mendapatkan tempat yang cukup spesial dihati masyarakat Yogya. Disepanjang jalan mereka menontoni arak- arakan kami. Banyak juga diantara mereka yang nyambi menyediakan jasa ojek, becak, atau sekedar menyewakan payung atau menjual aneka minuman dingin. Padat, namun teratur. Kepadatan penonton dipinggir jalan raya tidak membuat kekacauan dijalan raya, itu yang saya rasakan. Polisi dan Walubi patut diacungi jempol dalam hal ini. Koordinasi kedua belah pihak sangat baik.

Walubi sendiri memilih "menangkap bola". Banyak sekali anak muda berkaoskan tulisan " Walubi " tersebar disepanjang jalan menuju ke candi Borobudur. Mereka adalah penentu arah bagi kami. Itulah tugas yang mereka emban. Dan meskipun kenyataannya perjalanan kami yang memakan waktu hampir 2 jam nonstop, selalu disebut " sudah dekat, ada didepan ", setiap kali kami berpapasan dengan mereka dan menanyakan dimana letak Candi yang termahsyur itu.

White Lie!

Ujian pertama team kami menuju ke hadapan patung Sang Buddha, siang yang teramat sangat terik. Panasnya menyengat! Sangat!




Rombongan kawanku yang berjalan menyusuri trotoar dan menyebrangi lautan kepadatan manusia

Tidak lama kemudian, kami menemukan 3 orang berseragam Walubi, 2 wanita dan 1 pria. Mereka kita tanyain arah dan tata cara segala prosedur perayaan yang ada didalam Candi. Penjelasan mereka berikutnya membuat kami ketar- ketir.

Tiket untuk masuk ke Candi harus kami dapatkan melalui perwakilan wihara- wihara umat Buddha sebelumnya. Dan itu jelas tidak mungkin kami dapatkan dihari H. Kami butuh sejenis tiket atau kalung tagname untuk masuk! Oh Buddha! Kami kurang teliti rupanya. Prosedur ini kami lewatkan, kami berfikir perayaan Waisak terbuka untuk umum atau setidaknya bisa membeli tiket sejenis diloket.

Rosnive yang pertama kali bergerak mengatur strategi. Ia menghubungi kerabat dan tunangannya untuk ia mintai tiket undangan masuk untuk kami sepuluh orang. Gagal.

Strategi berikutnya dilontarkan Dedy adalah kita pepetin terus ketiga orang Walubi kita sebagai " tiket masuk " kita kedalam Candi, yang notabene direstui juga oleh ketiga kawan baru kita itu, tapi saya lupa nama mereka. Semoga jasa kebaikan mereka dibalas oleh Sang Buddha.

Yang berseragam kaos putih adalah kawan baru kami perwakilan Walubi

Pintu masuk Magelang, tanda Candi Borobudur tinggal 40 menit perjalanan dengan kaki

Solusi tidak selesai disitu. Ternyata kawan baru kami mempunyai beberapa tugas lainnya yang memperlambat kecepatan pergerakan kaki mereka, padahal kami ingin sesegera mungkin sampai disana karena panas terik yang amat menyengat. Kami menampis keinginnan menyewa ojek atau becak, bukannya pelit, tapi kami ingin benar- benar ingin turut merasakan ritual upacara Waisak ala Yogyakarta yang sebenar- benarnya. Hanya Elda dan Candra yang naik becak, kami bisa memakluminya sebab Elda mempunya riwayat penyakit asma. Kami sungguh tidak ingin dia tidak nyaman atau bahkan sakit.

Tidak lama kemudian, kami terpaksa berjalan cepat dan meninggalkan ketiga kawan kami dibelakang. Dedy yang mulai khawatir mengenai bagaimana cara kami masuk tanpa kartu akses yang harus kami miliki. Tapi saya enggak khawatir, entah kenapa hati saya berkata semua akan baik- baik saja. Ucapan itu saya lontarkan kepada Hendra Fu dan Santy yang berjalan disamping saya.

Tak lama kemudia, ada mujizat terjadi . . . 

Ada sepeda motor yang berboncengan 3 pria dewasa, satu diantara mereka menjatuhkan topi bertuliskan Walubi secara tidak sengaja. Refleks, kawanku Santy akhirnya memungut topi tersebut, ia bermaksud untuk mengembalikannya kepada sang empunya. Tak disangka, orang yang menjatuhkan topi itu malah tidak sadar bahwa topinya jatuh tertiup angin. Jadilah Santy bengong dan bingung topi itu mau kami apakan. Dedy menyambar topi itu dengan senang hati. Lumayan menutupi kepalanya yang tersengat dari matahari dan membuat ia pusing.

Tak disangka, itulah tiket kami bersepuluh untuk masuk kedalam Candi tanpa harus membayar atau mengenakan kalung tiket apapun. Penampilan Dedy meyakinkan pihak kepolisian yang berjaga, seolah- olah kami adalah rombongan Walubi. Padahal baik kami, maupun Dedy, sumpah, tidak ada keinginan untuk berbohong. Bantuan langsung dari semesta. 

Tiket yang diberikan melalui tiupan angin. 

Haru langsung menyeruak.

Saya bisikkan " terima kasih " . . . . . 

Topi Walubi yang saya maksud. Kiriman tiket instan kepada kami melalui bantuan semesta
saya simpan sebagai kenang- kenangan

Segera setelah kami sampai di kaki Candi Borobudur, semua kawan saya terbawa Euphoria gembira dan sibuk menodong semua orang asing yang lalu lalang untuk memfoto kami melalui kamera saku yang saya bawa. Sedangkan saya sibuk mengirimkan pesan SMS kepada Jo untuk memastikan titik koordinat dia.

Kita sudah sedemikian dekat sekarang . . .




Sempatkan diri berfoto di kaki Candi Borobudur


Ada satu kejadian menarik dan cukup berkesan dihati saya. Kejadiannya disore hari menjelang malam. Hujan turun cukup deras dan lama. Jadilah semua pengunjung Candi Borobudur kocar- kacir menghindar dari hujan. Saya yakin mereka bukan takut sama hujan, tapi takut alat elektronik yang mereka bawa rusak karena hujan. Soalnya saya begitu, hehehehe . . .  i love rain, but i hate what rain does to my smartphone if its wet. 

Nah, sore itu lapangan dikaki Candi Borobudur kosong melompong. Demikian juga dengan panggung mimbar utama tempat patung Buddha berwarna emas diletakkan disana. Teman saya si Rosnive punya ide untuk pergi bersembahyang dihadapan Sang Buddha, jelas saja saya excited. Logikanya kan hujan, nah, pasti kosong kan, cuman kitalah turis lokal yang cukup norak untuk bela- belain bersujut didepan patung Buddha dibawah hujan dan langit mendung. Tanggung emang, wong keburu basah juga kok. Jadilah kita naik ke atas mimbar utama. Ukurannya segede lapangan bola basket lah disekolahan. Kosong. Kami bertiga ( Saya, Rosnive sang team leader, dan Hendra kawan saya ) berdoa khusyuk diatas sana. Hening. Geming. Bening. Damai pokoknya. Seusai bersujut, nah, masalahnya disini, kan saya membalikkan badan yah, ternyata dibawah panggung sudah banyak pasang mata melototi kami. Rupanya upacara pembukaan Waisak telah mau dimulai, dan panggung yang kami naiki sesungguhnya tidak boleh diperuntukkan untuk kaum Buddhist awam, melainkan dikhususkan bagi para bikhu. Aduh! Malu bin dosa booookk ..... itu belum apa- apa. Lapangan yang saya kira kosong ternyata mempunyai 4 buah tenda yang standby dengan beberapa orang didalamnya yang berteduh dari hujan dan menontoni aksi nekad nan tak tahu diri itu, demikian juga ratusan atau bahkan ribuan bikhsu dari seantero Asia Tenggara telah berbaris siap naik keatas mimbar dan memulai upacara. Semua menunggu kami bertiga selesai berdoa dan turun dari panggung. Aduh!

Berkesan sekali, meskipun malu luar biasa, tapi saya yakin kami enggak dosa ah, orang kami kan enggak tau peraturannya, tanda larangan pun tidak tertera, saya cukup bersyukur panitia tidak menghentikan kami yang sudah kepalang bersujud dan berdoa disana. Dan lagipula saya yakin seribu persen Buddha tak keberatan sama sekali. Saya yakin semua ini tidak akan terjadi jika bukan dari ridho nya. Saya sudah meresa demikian bahkan sebelum saya menginjakkan kaki dibandara Yogyakarta.

Panggung mimbar ini yang saya maksud. Saksi bisu ketidaktahuan kami

Dalam hitungan kurang dari 10 menit jadi penuh begini mimbarnya
Jadi secara teknisnya, kami bertigalah yang " membuka " upacara Waisak 2556 BE 
di Candi Borobudur

Mimbar altar Sang Triratna ketika malam tiba

Ada 3 agenda utama yang akan dilaksanakan disore menjelang malam hari ini. Berdoa membaca paritta kitab suci dalam 7 bahasa yang berbeda ( sebab dihadari para umat Buddha seAsia Tenggara ), lalu mengitari Candi Borobudur sebanyak tiga kali sambil membawa sebuah lilin, dipercaya bagi mereka yang melakukannya dengan hati yang beriman dan meminta sesuatu yang tidak melanggar nilai yang dianut oleh ajaran Buddha, niscaya akan terkabul, dan yang terakhir tentu saja pelepasan ribuan lampion ke angkasa raya yang sudah termahsyur itu. Klimaks dari ritual Waisak ala Candi Borobudur sekaligus analogi bahwa permintaan kita disampaikan keatas langit.

Foto tangan saya diabadikan oleh Jonaz kawan saya ketika tengah berkeliling Candi sebanyak tiga kali putaran untuk memohon permintaan
 Terima kasih Jo

Ditengah saya mengitari Candi sebanyak tiga kali, iseng saya mengecek pesan yang masuk di smartphone saya. Ternyata masuk cukup banyak pesan. Dan semuanya dari Amel. Yang isinya meminta saya lekas menghitung pengeluaran biaya anggaran, dan tertulis secara gamblang bahwa saya adalah orang yang tidak fair, sebab menurutnya adalah tidak adil menghitung biaya akomodasi terhadap Agus kekasihnya jikalau Agus tidak menggunakan akomodasi apa- apa. Ia menuliskan pesan tersebut dalam bahasa Indonesia dicampur bahasa daerah. Tak tahukah ia si gendut itu ngorok disamping saya sepanjang malam kemarin dan kami bersepuluh akhirnya mengalah dan menjemput dia dijalan Malioboro ? Apakah bijaksana menghakimi seseorang padahal ia sendiri tak tahu menahu persoalan dengan sebenar- benarnya ? Dia yang jauh di Jakarta tahu lebih banyak dari kami bersepuluh yang ada di Yogya ?

Satu : Saya bukan babu Agus dan Amel, bukan pula agen travel yang bertanggung jawab mencatat dan melapor setiap rincian biaya dikala saya sedang beribadah. Saya membayar semua kebutuhan saya sendiri disini. Tidak berhutang budi kepada siapapun. Jadi saya memiliki HAK untuk menikmati liburan dan ibadah saya sama seperti kesembilan teman saya lainnya.

Dua : Saya sudah jengkel diteror selama dua hari satu malam oleh Agus dan Amel dengan ke- rempongan mereka. Jadi akumulatif.

Tiga : Saya mengatai Amel " Bonau ", yang dalam bahasa daerah Medan berarti " tidak bisa berfikir ". Amel mengira saya mengatai pacarnya. Padahal pacarnya tidak bertingkah didepan saya. Maksudku mengenai orang yang tidak bisa berfikir itu Kau Amel!

Empat : Ibadah saya ternoda dengan mengatai Amel dengan satu kata itu, " Bonau ". Saya, yang mengira dapat melaksanakan upacara ibadah ini dengan sempurna, ternyata kalah oleh ketidaksabaranku sendiri menghadapi manusia semacam mereka. Jadi saya sesungguhnya tidak lebih baik dari mereka. Saya gagal.

Kupendam erat- erat perasaan kacau yang menyelimuti hati saya. Saya mencoba berkonsentrasi menjalani sisa ritual yang berharga ini. Entah kapan saya bisa kembali lagi kesini. Belum tentu memiliki kesempatan sebaik ini lagi. Jadi kupasrahkan semua kepada yang diAtas sana. Handphone kumatikan total. Kebahagian kawan- kawanku di Candi, juga sobat baruku menjadi prioritas saat ini. Saya berusaha semampu saya.

Saya tengah menyalakan obor untuk menerbangkan lampion sahabat karib saya sekaligus adik angkat saya
Willy Suteja

Kiri ke kanan : Juny, Elda, Dedy, dan Santy. Kebahagian mereka yang terekam difoto ini akan selalu melekat didalam hati saya

Kawan saya Jo. Sahabat baru kiriman dari alam semesta