Jumat, 25 Mei 2012

Unek- unek ala Gudeg


Punya suaka alias tempat berlabuh dalam perlindungan itu mahal harganya bagi manusia dewasa. Mungkin jaman sekarang buat anak kecil juga demikian.

Twitter, Facebook dan sebangsanya hanya ilusi. Kita tidak pernah bisa benar- benar mengungkapkan isi hati kita kepada mesin Hypercyber itu. Tadinya kupikir itu bisa menjadi bentuk pelarian, dari saya terhadap semua species Homosapiens dimuka bumi. Kita lupa, Homosapiens selalu berada dibalik semua ini. Jadi ngomong di Twitter atau ngomong sama orangnya langsung ya sama saja. Cuma jadinya direct dan indirect speech.

Ngomong sama hewan dan barang saya pasti dianggap gila. Bahkan oleh diri saya sendiri. Ngomong sama Semesta? kadang- kadang dia punya plot sendiri yang gak bisa ditebak. Alih- alih menuduh semesta pengkhianat lebih baik saya diam seribu bahasa.

Ngomong sama Tuhan? Ini lebih menyebalkan lagi. Dia maunya cuma komunikasi satu arah. Kalau dituding Dia enggak pernah menjawab, pasti Dia membela diri. Saya enggak punya perangkat jelas untuk mentranslate jawaban dari Tuhan.


Saya tidak ingin mati, tidak juga berarti saya ingin ngotot hidup. Saya hanya ingin bahagia. Baik dalam keadaan hidup, maupun mati. Sesederhana itu.

Hanya orang sehat yang mengerti bahasa manusia sehat.

Hanya orang sekarat yang mengerti bahasa manusia sekarat.

Saya lelah merespon terhadap reaksi, atau bereaksi terhadap respon yang datang. Berada dalam hening yang menggelegar adalah suaka bagi saya saat ini. 


Kumohon jangan usir ku pergi, karena sungguh aku tiada tempat lagi.


Jakarta, 26- 05- 2012
12:14 siang