Rabu, 06 Oktober 2010

Mengenang Joss - My Kitty Boy




Namanya Joss. Berasal dari keluarga kerabat Felix. Ras nya mirip British Short hair. Tepat hari ini saya mengenang 2 tahun sejak kematiannya yang tragis. Dia memang hanya seekor kucing, dan menangisi kematian kucing kampung tak lazim dalam society saya, tapi dari dulu juga saya tak pernah peduli cibiran orang mengenai saya yang over sayang sama Joss.

Joss spesial. Joss Unik. Loyalitasnya bahkan melebihi si Logan – jagoan Anggora Putih saya sekarang. Selain urusan penampilan, sesungguhnya sifat karakter Joss dan saya hampir sama, tapi saya akui Joss jauh lebih sopan daripada tuannya. Joss setia menemani saya dalam 3 kali saya pindah rumah. Teluk Gong – Taman Palem dan terakhir Taman Ratu. Keadaan ekonomi saya sungguh sulit beberapa tahun yang lalu dan mengharuskan saya berpindah dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang lain. Dan Joss tidak pernah menikmati makanan mewah ala kucing peliharaan, apalagi fasilitas antar jemput dokter hewan pribadi seperti Logan dan Manohara sekarang ini. Joss harus makan apa saja, tulang lele, nasi ikan asin, sampah tetangga, dan kalau kami berdua cukup beruntung, dia bisa makan Pizza Hut, Mc’donald atau KFC. Dan bila ia terluka karena berkelahi sesama kucing jantan, lukanya hanya saya bersihkan dengan air garam atau Betadine. ( Kalau sekarang saya lebih suka Dokter Betty atau Dokter Perdana datang langsung kerumah saya seusai praktek! )

Saya belajar “ Cara Menyambut Orang Yang Di Kasihi Sepulang Kerja “, dari Joss kucing saya. Saya bekerja di Cafe dari jam 5.00 sore sampai jam 1.00 dini hari. Jadi waktu saya memberi ia makan dan bermain adalah di tengah malam. Dan Joss hafal betul jam kepulangan saya, atau jika dia lupa waktu karena terlalu asyik nongkrong sama kawan- kawannya, bunyi knalpot butut ayah saya yang saya kendarai akan mengingatkannya. 

Play Time !!

Lalu dari kejauhan ia akan lari terbirit- birit sambil mengeong ke arah saya ( gaya larinya mirip kancil di film Bambi – setengah jejingkrakan ). Setiap hari, tanpa lalai, setahun penuh! Dan melihat peringainya semua beban lelah saya mendadak hilang. Alih- alih bergegas mandi lalu tidur, saya lebih suka merokok dulu sambil setel MTV dan memainkan tali sepatu saya demi Joss. Pagi hari biasanya saya habiskan dengan tidur dan siang hari saya habiskan untuk berenang atau nge – Gym di fitness centre dekat rumah. Dan Joss selalu membuntuti. Kesetiaannya sih tak sampai kayak Hachiko yang termasyur itu. Komitmen Joss kepada saya goyah ketika tiba musim kawin kucing atau ketika ia tak sengaja berpapasan dengan kucing betina ( Joss sukanya yang berwarna gelap ), dimata saya kucing betina pilihan Joss selalu saja mirip Maria Mercedes, jadi tak pernah saya ridhoi ... dan layaknya kucing jantan, mereka suka berpacaran sembunyi- sembunyi ... tanpa sepengetahuan saya.

Hal dramatis sebelum kematiannya adalah ketika saya bertolak pulang ke Medan untuk sebuah urusan keluarga. Ibu saya menelepon Hape saya setiap hari hanya untuk mengabarkan Joss yang sibuk mengeong keras dan mogok makan. Saya pikir itu hal biasa – Musim kawin, tapi jawabannya ternyata terletak di seminggu kemudian. Tepat ketika saya sampai kembali ke Jakarta dan Taksi berada didepan pintu pagar rumah, saya sudah mendengar erangan keras Joss. Ibu membukakan pintu, mereka berdua keluar menyambut kepulangan saya. Tak sempat ibu saya bertanya hal- hal seputar berita di Medan, Joss duluan sudah mencoba ‘ memberitahu ‘ saya sesuatu. Saya menjadi aneh, suara erangannya berbeda dari yang pernah saya kenal selama ini. Joss pun membuntuti saya kemanapun. Pelan- pelan saya berusaha menyuapnya dengan susu hangat yang saya panaskan sembari memintanya untuk makan. Dan ia turuti. Dia makan. Tepat di hadapan Ibu saya, ayah saya dan seorang kerabat saya. Ia makan. Tapi setiap kali saya beranjak dari sisinya, ia akan berhenti makan dan mengikuti saya kembali. Jadi malam itu saya menghabiskan tengah malam menceritakan kabar famili di Medan kepada orang tua saya sembari menyuapi Joss makan. Seingat saya hari itu menjelang pukul 4.00 pagi dan ketika akhirnya ayah dan ibu saya kembali tidur meninggalkan saya yang masih merokok dan Joss yang mulai tertidur disamping saya. Pelan- pelan saya beranjak bersih- bersih dan mulai tidur dikamar saya. Itulah kali terakhir saya melihat Joss.

Keesokannya saya yang masih tidur pulas dihebohkan dengan telepon langsung dari Medan. Pesawat yang saya tumpangi dari pukul 10.00 malam dari Polonia menuju Jakarta ketika sampai di Medan dan mengangkut penumpang kembali mengalami kecelakaan. Mereka sekedar menelepon, takutnya pesawat saya delay dan saya terbang keesokan harinya dan berada di pesawat terbang yang mereka tonton.  Hari itu saya dan keluarga menghabiskan hari dengan menonton televisi berupa tayangan kecelakaan dimaksud. Saya anggap itu kebetulan saja, toh nomor pesawat dan penerbangan saya sendiripun saya lupa, sedangkan stiker bagasi sudah saya copot dari taksi. Jadi tak pernah terpikir di otak saya bahwa saya yang seharusnya berada di pesawat itu. Keluarga saya di Medan sekedar perhatian, was- was dan sedikit berlebihan.

Siangnya saya larut dalam bekerja dan lupa akan Joss yang aneh. Yang jelas ketika saya menelepon kerumah dan bertanya pada ibu saya mengenai Joss, beliau menjawab dengan tidak melihatnya seharian. Begitu juga ketika saya pulang. Saya sudah mencoba mencarinya dengan keliling komplek dan tidak berhasil menemukannya. Padahal saya masih kangen.

Beberapa hari setelahnya, seorang penjaga warung rokok langganan saya mengetok pagar pintu rumah saya dan menginformasikan bahwa ia menemukan Joss tergeletak dijalan, tewas tertabrak. Kepalanya remuk terlindas. Antara percaya tidak percaya. Sang abang mengatakan mengubur Joss dengan selembar kain di depan halaman saya agar tidak kembali gepeng dilindas mobil yang melintas. Orangtua saya melarang saya untuk menggali kembali kuburan Joss, saya hanya ingin memastikan. Niatan itu saya urungkan sembari berharap yang terbaik bagi Joss. Saya bahkan lupa mengucapkan terima kasih kepada si abang yang baik hati. Saya mengunci diri saya didalam kamar berhari- hari, tidak menangis sih, sedih pun tidak. Tak ada rasa apa- apa. Hanya tidak mood makan dan bekerja.

Saya penasaran benarkah Joss yang dikubur didepan rumah saya?

Berbulan- bulan akhirnya berlalu hingga akhirnya seorang kawan dekat datang berkunjung kerumah sambil bertanya tentang Joss. Mendadak tangis saya pecah – tanpa malu- malu. Hari itulah saya pertama kali menangisi kematian Joss sambil sesegukan bak anak kecil, dan malam itu seingat saya, saya berlutut sambil berdoa untuk Joss dan mengikhlaskannya untuk pertama kalinya. Ketika kawan saya itu mengatakan “ Saya yakin Joss sudah bahagia disana “, saat itulah tangis saya makin menjadi- jadi bukannya malah jadi tenang. Akhirnya teman saya memutuskan mengajak saya keluar mencari makan, sembari mencari angin segar dari kamar yang pengap. Konyol memang.

Saya rasa label predikat Joss yang kucing kampung dan kerap kali disebut sebagai ‘ hanya kucing kampung ‘ oleh bibir orang- orang di lingkungan sekitar saya berhasil memblok otak saya dari bereaksi sewajarnya ketika saya tahu dia tewas pertama kali. Sekarang saya sadar, tidaklah wajar untuk tidak menangis ketika kau tahu hewan peliharaan kesayanganmu tewas tertabrak. Hati dan Pikiran saya masih bentrok. Makanya saya butuh berbulan- bulan sebelum akhirnya berhasil konek dengan perasaan kangen dan kehilangan yang datang bersamaan, lalu pertahanan saya runtuh berantakan. Dan akhirnya menangis.

Menangis kangen karena  tak mungkin bertemu kembali memangnya salah ?

Hari ini saya sudah cukup dewasa untuk dapat jujur mengakui didalam hati secara sadar, bahwa aku kehilangan Joss. Dan dia bukan sekedar kucing kampung biasa, dia sahabat saya. Dia mengajarkan saya banyak hal kok. Anda mungkin saja tidak mengerti. Tapi saya maklum dengan itu. Lagipula tulisan ini saya buat hanya agar saya lekas lelah dan tertidur.

Sembari mengucapkan selamat pagi sama Joss.

Langit sebentar lagi terang sayang ... J

And Dean miss you kitty boy ...