Senin, 20 September 2010

Dean Lugisto Kecil


Saya adalah salah satu manusia dengan segala kompleksitasnya.

Lahir dipangkuan keluarga besar Lugisto, dan hidup yang lebih dari sekedar makmur di era 80-an. Saya adalah bungsu dari 2 bersaudara. Abang saya meninggal dikala saya masih dalam kandungan. Itu menjadikan saya berstatus anak laki- laki tunggal secara resmi. Lahir di Medan - Sumatera Utara dan dibesarkan di Jakarta.

Jauh dibelakang - disaat saya belum mempunyai banyak pilihan, hidup terasa begitu indah. Rumah keluarga besar saya dikampung sangat besar - cukup besar untuk menampung 3 keluarga besar lainnya dan segudang binatang hewan peliharaan yang langka. Ayah saya bekerja sebagai pengusaha tekstil ketika saya belum lahir, dan Ibu saya memiliki salon kecantikan sendiri di depan beranda rumah kami. Nasib berkata lain ketika usaha ayah saya menderita kerugian yang teramat sangat berat ketika seluruh harta kekayaan keluarga kami ditipu oleh salah satu sahabat dekat ayah. Ayah kemudian bertolak ke Jakarta ketika saya berumur kurang dari 3 tahun. Saya dan Ibu melanjutkan hidup yang  tidak pahit- pahit amat di Istana rumah kami yang barang mewahnya dijual satu per satu untuk menyokong keluarga besar kami.

Hari- hari saya dilalui dengan tenang sentosa, sementara Ibu kerap diam- diam mengajak saya keliling pasar untuk menjual satu per satu perhiasan emas kawinnya setiap seusai saya pulang sekolah. Tentu saja mengendap- ngendap dari perhatian keluarga lainnya. Saya rasa, jika anda hidup mulai berkekurangan, dan tidak banyak pilihan yang anda miliki, satu- satunya yang bisa anda lakukan adalah menyelamatkan keluarga anda sendiri dulu. Saya memaklumi apa yang Ibunda saya lakukan dan sungguh berterima kasih padanya. Itu hari terakhir saya pernah melihat sebuah cincin emas dengan tahta berlian melingkar di jari Ibunda saya. Siang itu kami pulang. Saya tidak dimandikan seperti biasanya. Saya dibiarkan bermain sendiri diatas kasur springbed dengan boneka Popeye kesayangan saya, sedang Ibu, ia membenamkan wajahnya dengan bantal, sembari membalikkan tubuhnya dari pandangan saya, lalu kasur kami bergetar dengan kencang. Tanpa suara. dan kejadian itu membekas di dalam hati saya. Kami bangun tengah malam dan mata Ibu masih sembab.

Saya selalu diajarkan untuk disiplin menulis surat kepada ayah. Hal- hal yang saya tulis lebih mirip laporan harian, biasanya Ibu yang mendikte apa yang harus saya tulis. Sekalian belajar menulis mungkin. Rumah kami besar namun biasanya Ibu dan saya lebih sering menghabiskan waktu didalam kamar. Makan - Belajar - Bermain, lebih banyak dilakukan didalam kamar. Dan saya tidak punya jawabannya kenapa hingga hari ini.

Ibu berteriak kegirangan suatu hari. saya lantas dipeluk dan dicium- cium. Semua mainan lego yang saya susun susah payah jatuh berantakan. Ibu habis membaca surat dari hasil tulis tangan ayah. Isi beritanya meminta kami datang ke Jakarta. Kejadian itu terjadi di siang hari, setelah saya pulang dari sekolah dan setelah Ibu menemukan surat dari Ayah didalam kotak surat. Keesokan harinya, sebelum saya makan siang, Ibu dan saya sudah didalam Taksi dan bertolak ke Pelabuhan Belawan. Tidak banyak yang kami bawa seingat saya. Dan saya ingat, kami berdua tidak pamit kepada siapa- siapa.

Itu kali terakhir saya ingat tentang Medan kampung halaman saya. didalam taksi yang tidak ber- AC, mata saya hanya menatap pagar depan rumah yang sepi sambil mengucapkan selamat tinggal dalam hati.

Pagar tempat saya melepas balon terbang tinggi ke angkasa.

Pagar tempat saya bermain kembang api dan melemparnya agar nyangkut dipohon.

Pagar tempat Ayah mengajarkan saya naik sepeda roda tiga.

Pagar tempat saya menginjak kotoran anjing pertama kalinya.

Ibu tidak banyak berkata- kata didalam taksi. Beliau hanya sesekali menjawab sekenanya pertanyaan dari abang supir taksi. Kami makan roti coklat satu berdua sambil menelusuri jalan menuju Pelabuhan Belawan.


2 komentar: